Monday, November 17, 2008

Melakukan perubahan

Susah benar melakukan perubahan. Apalagi merubah kebiasaan yang sejak dulu sudah tertanam di kehidupan sehari-hari. Padahal ada yang bilang, manusia itu bukan kebiasaannya. Artinya, manusia yang seharusnya menentukan kebiasaannya, bukan kebiasaan yang mendefinisikan seorang manusia.

Kenyataannya, kebiasaan akan sangat sulit diubah tanpa kesadaran dan kemauan dari masing-masing orang. Harus ada rencana dan tindakan yang sistematis untuk merubah sebuah kebiasaan, sehingga sepanjang masa perubahan hal-hal yang harus diubah menjadi gampang diingat dan diperbaiki. Belum lagi kebiasaan itu sendiri terbentuk dari hal yang kecil-kecil. Karena kecilnya, kita sering tidak memperhatikan bahwa kita telah mengalami perubahan dalam beberapa hal.

Kalau tidak diperhatikan dengan baik, salah-salah kebisaan baik pelan-pelan hilang dan kebiasaan baru yang kurang baik tanpa disadari malah muncul. Gawat :)

Wednesday, September 10, 2008

Life is not fair

Sering kali kita harus memilih di setiap bagian dari hidup kita , tanpa bisa mengetahui pilihan mana yang benar dan mana yang salah. Kita tidak tahu, di depan, apa akibat dari pilihan-pilihan yang kita buat itu di kemudian hari. Masa depan merupakan suatu hal yang gelap dan tidak dapat kita lihat dari tempat kita berdiri pada saat ini. Walaupun begitu kita tetap harus melakukan pilihan.

Beberapa pilihan merupakan hal kecil yang mungkin dianggap sepele, seperti memilih baju baru, mau makan apa hari ini dan lain sebagainya. Pilihan seperti itu akan relatif mudah untuk dibuat. Tetapi, sering kali kita dihadapkan pada pilihan-pilihan yang besar. Pilihan yang menentukan jalan hidup kita di kemudian hari. Pilihan-pilihan yang bersifat kritikal dimana kita berada di persimpangan jalan yang menuju arah yang sangat berbeda. Kita harus memilih antara orang yang kita cintai dan karir yang ingin kita capai misalnya. Memilih untuk menetap di negara sendiri atau menuntut ilmu di negara lain, sebagai contoh lainnya. Kita diharuskan memilih di antara hal-hal yang tidak ingin kita pilih salah satunya. Kita diharuskan memilih diantara dua hal yang sebenarnya ingin kita dapatkan keduanya.

Sayangnya kesempatan memilih tersebut hanya datang sekali. Setelah kita melakukan pilihan, semua berjalan mengikuti arah telah yang kita pilih. Hari demi hari tanpa kita sadar, kita mungkin meninggalkan hal-hal yang sebenarnya lebih kita ingini. Hari demi hari kita terus disibukkan dengan "kehidupan sehari-hari". Kita sibuk bekerja, belajar, kuliah, bermain , belanja dan lain. Demikian sibuknya hingga sering kali kita lupa atau bahkan tidak sadar bahwa kita telah membuat pilihan.

Kita sibuk dengan mimpi-mimpi yang bisa kita dapat dan menjalani hidup kita seakan-akan kita sedang mencapai mimpi itu dan merasa hal tersebut adalah hal yang paling kita ingini. Sampai pada suatu waktu.. kita telah mencapai mimpi kita dan kita bertanya.. What next? Sampai suatu waktu ketika kita telah mencapai mimpi dan merasakan kekosongan dengan pencapaian yang kita dapat. Kita bertanya, apa yang salah dengan yang kita lakukan? Kita baru berfikir mengenai kesalahan pilihan yang mungkin kita buat.

Sayangnya, ketika kita sadar dan menyesali pilihan-pilihan yang sudah kita buat, kita tidak punya kesempatan untuk melakukan pemilihan ulang. Waktu telah berjalan dan tidak ada sedikit pun waktu yang dapat dikembalikan. Betapapun kita menginginkannya, betapapun kita menyesalinya, betapapun kita berusaha untuk kembali, waktu tidak dapat diputar kembali.

It is not fair, isn't it?

Tuesday, March 25, 2008

Andai aku punya Bank - part 2

Ketika kita menaruh uang di bank, tindakan kita disebut menabung. Sekali lagi, dengan pengalaman yang diajarkan sejak kecil, hal tersebut seakan-akan lebih merupakan keuntungan dan kebaikan untuk kita dibandingkan untuk bank sendiri. Padahal, uang tersebut dijadikan sebagai modal usaha bagi bank dan hanya sebagian (100 juta) yang dijamin untuk dikembalikan ke kita. Selain itu, kita perlu memasukkan data pribadi dan juga mendatangi bank hanya untuk dapat membuat satu rekening bank. Dalam kedudukan ini, kita menjadi orang yang membutuhkan layanan bank.

Ketika kita meminta uang dari bank untuk usaha, mereka menyebut tindakan kita sebagai meminjam, dimana bank meminjamkan uang ke kita. Kata-kata tersebut menempatkan bank sebagai pihak dengan "tangan di atas" (memberi). Untuk mendapatkan pinjaman, sekali lagi kita harus memasukkan data pribadi yang cukup detail dan dilakukan pengecekan oleh pihak bank. Dalam kedudukan ini, kita tetap menjadi orang yang membutuhkan layanan bank.

Dalam dua kasus di atas, pihak bank selalu menjadi pihak yang lebih berkuasa. Mengapa tindakan kita menaruh uang di bank tidak kita sebut sebagai meminjamkan uang dimana bank meminjam uang dari kita. Atau, mengapa ketika bank memberi uang, untuk modal usaha, tidak disebut sebagai menabung ke masyarakat? Lalu, kapan bank menjadi pihak yang berada di bawah jika berhadapan dengan masyarakat?

Tentunya akan sangat senang jika saya punya bank. Dengan menggunakan uang anda, saya dapat melakukan bisnis dan berkata hanya sebagian dari uang anda yang saya akan kembalikan :)

Andai aku punya Bank

Sejak kecil kita diajarkan untuk rajin menabung. Ketika mulai remaja kita diperkenalkan dengan bank dan disarankan untuk melakukan transaksi melalui bank. Dengan pengalaman tersebut kita menjadi percaya bahwa bank merupakan tempat yang aman untuk menyimpan uang dan menguntungkan bagi orang-orang yang menabung.

Belakangan ini saya banyak berhubungan dengan bank dan melihat hal-hal yang kurang bisa diterima oleh akal saya. Misalnya, saya melihat pengumuman di bank yang menunjukkan deposito yang dijamin oleh bank maksimal adalah 100 juta rupiah. Artinya, jika saya memiliki uang 500 juta rupiah dan saya depositokan di sebuah bank, maka hanya 100 juta rupiah yang dijamin untuk dikembalikan jika bank tersebut runtuh. Uang saya yang 400 juta rupiah "mungkin" akan dikembalikan jika masih terdapat dana sisa setelah semua rekening yang jumlahnya 100 juta milik nasabah dikembalikan. Hmm.. ternyata menyimpan uang di bank tidak seaman yang semula saya pikirkan.

Lalu, dengan resiko kemungkinan kehilangan uang yang kita tanggung tersebut, apakah kita sebagai nasabah mendapatkan keuntungan lebih? Dengan resiko yang bertambah tersebut, seharusnya kita mendapatkan bunga yang lebih besar pula. Sekali lagi, ternyata tidak. Bunga bank pada saat ini adalah sekitar 0.5% per bulan. Nilai yang sangat kecil dibandingkan dengan resiko yang kita tanggung. Sementara itu, bank sendiri menerapkan bungan mulai dari 1% hingga 4% bergantung pada jenis pinjaman yang mereka berikan. Untuk kartu kredit misalnya, mereka menerapkan bungan 3% ke atas dengan pertimbangan resiko karena tidak adanya jaminan. Sementara itu, walaupun bank tidak memberikan jaminan terhadap seluruh uang kita, bunga yang kita terima tetap 0.5%.

Terpikirkan oleh saya untuk mengajukan pinjaman yang jumlahnya 500 juta rupiah dan kemudian memberikan pernyataan bahwa saya hanya menjamin pengembalian sebesar 100 juta rupiah. Saya ingin melihat bagaimana reaksi bank terhadap hal ini.

Tuesday, March 20, 2007

Berfikir kreatif

Misalkan kita kehabisan bensin di tengah jalan. Sementara, kita harus membawa kendaraan yang kehabisan bensin tersebut ke suatu tempat. Satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan kita adalah dengan mencari bensin yang dapat menghidupkan kembali mesin kendaraan yang mati tersebut. Ini merupakan pemecahan masalah yang sangat jelas dan mudah.

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita menemukan permasalahan seperti di atas yang dapat dengan mudah, atau secara otomatis, kita putuskan penyelesaian masalahnya. Mulai dari bangun tidur, sampai tidur lagi, hari demi hari, hal yang sama kita lakukan terus menerus sehingga kita sudah hafal langkah demi langkah penyelesaian masalah tersebut. Hal tersebut menjadi kebiasaan. Kebiasaan untuk berbicara cepat, kebiasaan untuk tidur pagi, kebiasaan untuk minum kopi dan lainnya dapat dilakukan tanpa berfikir dua kali.

Permasalahan mulai timbul ketika cara berfikir tersebut, yang didasarkan pada kebiasaan, digunakan untuk memecahkan permasalahan yang lebih memerlukan pemikiran kreatif. Sering kali kita tidak menyadari waktu-waktu dimana kita harus menggunakan cara berfikir yang lain.

Sebagai contoh, pada permasalahan mobil mogok sebelumnya, solusi yang pasti adalah mencari bensin. Tapi, bagaimana cara mendapatkan bensin tersebut merupakan hal yang perlu dipikirkan lebih teliti lagi dan dengan memperhatikan batasan-batasan yang kita miliki. Ketika menggunakan cara pikir dengan kebiasaan, maka hal yang akan mungkin kita lakukan adalah menelpon orang yang dekat dengan kita untuk meminta pertolongan, memanggil mobil derek, atau bahkan meninggalkan mobil di lokasi, untuk kemudian mencari bantuan. Tapi, mungkin akan sangat jarang orang yang berfikir untuk menyetop taksi dan membayar sebagian bensinnya dengan agak lebih mahal. Kalo taksinya mau ... :)

Tuesday, April 26, 2005

Penyebaran Informasi Pribadi

Benar kata orang kalau saat ini disebut sebagai era informasi. Informasi menjadi suatu hal yang sangat bernilai dan penyebarannya pun semakin cepat dan mudah. Berita yang ada di belahan dunia lain, dalam beberapa menit dapat tersaji di depan mata kita melalui alat yang disebut televisi. Komunikasi antar dua manusia yang saling berjauhan pun menjadi semakin mudah dengan adanya mobile phone, email, internet dan lain sebagainya.

Sayangnya, kemudahan penyebaran tersebut tidak diikuti dengan pemahaman yang baik mengenai informasi yang seharusnya/sebaiknya disebarkan dan informasi yang sebaiknya/seharusnya tidak disebarkan. Salah satu kejadian yang sempat membuat heboh dunia adalah kematian Putri Diana yang berusaha menghindari kejaran paparazzi, sungguh suatu kejadian yang menyedihkan.

Hal yang mungkin juga tidak kita sadari adalah penyebaran informasi pribadi kita masing-masing. Setiap hari, informasi mengenai diri kita dapat berpindah tangan dari satu orang/badan ke orang/badan lainnya. Sebagai contoh adalah adanya email spam yang saat ini mulai dianggap sebagai bentuk kriminal. Itu masih belum seberapa. Beberapa hari terakhir ini saya mendapat telepon dari orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai rekanan dari bank yang memberikan kartu kredit kepada saya. Orang-orang tersebut sangat mengetahui informasi mengenai diri saya, hingga saya terheran-heran, dari mana mereka mendapatkan informasi yang cukup detail mengenai diri saya dan juga kartu kredit saya. Informasi tersebut dapat dengan mudah disalah gunakan untuk kepentingan mereka masing-masing.

Menurut pendapat saya, tidak ada orang yang berhak menyebarkan informasi pribadi saya kepada orang lain, termasuk bank pemberi kartu kredit, tanpa mendapatkan ijin dari saya. Hal ini jelas mengganggu privasi saya.

Semoga kita semua dapat menyadari bahaya dari penyebaran informasi yang tidak seharusnya ini dan mencoba menanggulanginya bersama. Jangan sampai, suatu hari nanti anda mendapat telpon dari orang yang mengetahui celana dalam warna apa yang anda pakai pada saat itu :((

God help us!!

Dunia Gila

Sering kali kita tidak dapat membedakan lagi antara yang baik dan jahat atau yang benar dan salah. Terutama di jaman kemajuan teknologi informasi, dimana informasi dapat berasal dari berbagai macam sumber. Semakin banyak kita baca, semakin bingung kita dan semakin kita tidak tahu mana yang benar dan salah.